Penulis: Suden
Sialnya, dalam kemapanan masyarakat kita saat ini, kaum milenal sering dikaitkan dengan kesuksesan. Mereka berkembang dengan kendalinya terhadap ruang digital, sehingga diharapkan mampu menciptakan kesempatan dengan limpahan rahmat tersebut. Namun, apakah kemapanan tersebut pantas disematkan oleh kaum milenial?
***
Selamat datang kawan-kawan di alih wahana sastra, dengan judul Puri Yutopia Permai karya Erlina Rakhmawati. Dimana kalian akan melihat betapa indahnya kesenjangan sosial, Pergeseran ruang hidup, hingga kasus intoleransi gender semacam seksisme di kota istimewah ini.
Saya sebagai penulis hanya akan mengantarkan pada satu resensi singkat. Untuk mendapatkan pengalaman optimal, kalian bisa mengaksesnya melalui https://youtu.be/pRcuGNMVn8s.
Pertunjukan yang mewah dengan penyajian yang begitu sederhana, merupakan satu kalimat yang pantas saya tawarkan terhadap pertunjukan tersebut.
Di dalam sebuah gedung pertunjukan yang megah, Mbak Erlina bersama kawan kembang kempisnya, hanya mengambil kurang dari separuh ruangan tersebut. Kemudian mereka letakkan barang-barang kontrakan mereka, dan disajikan layaknya suasana kafe yang remang-remang.
Konsep pertunjukan merupakan bagian dari drama musikal, dimana mereka bersandiwara dengan bernyanyi kepada setiap pengunjung yang ada di kafe itu. Tak lupa, mereka menyematkan masalah yang sedang dihadapi pada setiap lagu yang dinyanyikan. Selain bernyanyi, mereka musti meladeni percekcokan dengan pengunjung kafe, belum lagi masalah mereka dengan pemilik kafe itu.
Di awal pertunjukan, saya di hadapkan dengan adegan yang begitu realis. Mereka menghibur pengunjung kafe dengan tampang yang begitu menyedihkan. Seakan-akan mereka sedang membawa derita ke dalam panggung pertunjukan.
Adegan ini berhasil menyerang batin saya yang mudah sekali berempati. Bagaimana tidak, saya dihadapkan dengan para gelandangan milenial sekaligus berbakat, yang harus menerima keadaannya terusir dari kontrakan. Mereka terusir hanya karena harga sewa yang terlampau tidak masuk akal.
Menjelang akhir pertunjukan, pemerintah datang layaknya mesias. Melalui pegawai sensusnya, pemerintah menawari mereka sebuah kebijakan yaitu pemerataan hunian. Jadi, apabila didapati sebuah hunian yang dihuni kurang dari tiga orang, maka pemerintah berhak menyitanya dan membagikannya kepada para gelandangan.
Namun, apakah pemerintah benar-benar serius memberikan semua itu kepada mereka?
“Serius dong, kan negara tidak pernah berbohong” Jawab pegawai sensus tersebut dengan begitu meyakinkan.
Mereka yang awalnya nampak begitu menyedihkan, seketika berubah sumringah dan serentak berkata
“Weh gokil! Negara tidak pernah berbohong gaess…”
Alur cerita dari pertunjukan tersebut tidaklah berlangsung linear, di akhir kita akan dibuat takjub dengan adegan yang tak terduga. Namun, tidaklah etis apabila saya sampaikan semua itu secara utuh. .
Mileneal dan Pergeseran Ruang Hidup
Bermuka dari perbincangan saya dengan Mbak Erlina, beliau mengawali ceritanya dengan kegelisahan mengenai kaum milenial di Yogyakarta. Kaum milenial yang harus tercancam gelandangan akibat naiknya nilai keterjangkauan ruang hidup, namun tidak diimbangi dengan tingkat pendapatan mereka.
Belum selesai dengan masalah ruang hidup, kaum milenialtumbuh dengan kendali mereka terhadap ruang digital. Mereka di gambarkan begitu mudah menciptakan kesempatan dengan bantuan teknologi. Maka tak heran apabila media informasi kita saat ini sering mengaitkan kaum milenial dengan kesuksesan.
Namun masalahnya, bagaimana mereka dapat menciptakan kesempatan, apabila mereka harus menerima nasib hidupnya yang terpinggirkan. Sedangkan, pertumbuhan daerah kita hampir menyerupai kota. Pembangunan demi pembangunan di rancang serba kota. Dampaknya, hampir semuanya di komodifikasi, hampir semuanya berubah menjadi berbayar. Dari yang hanya berbentuk barang, jasa, bahkan gagasan mesti memiliki nilai ekonomi.
Ambil kasus, saat ini saya sering menemui beberapa daerah yang mulai dibangun konsep desa wisata. Secara tidak langsung, pembangunan ini menarik perhatian orang-orang kota untuk datang ke desa. Mereka datang dengan membawa kebiasaan sekaligus cara berpikirnya ke dalam desa.
Menciptakan Gagasan
Menjelang akhir perbincangan kita, setidaknya saya masih dapat mengajukan satu bentuk pertanyaan. Satu bentuk pertanyaan terkait makna yang ingin disampaikan dalam pertunjukan tersebut, sekaligus menanggapi masalah yang MbakErlina sajikan.
Dari mana datangnya sebuah kebijakan mengenai pemerataan hunian, sedangkan keberadaannya masih saya ragukan?
Dengan ketidaksangkaan, perempuan itu memberikan saya jawaban. Bahwasannya, apabila membahas mengenai Puri Yutopia Permai, kita hanya berputar pada ada atau tidaknya Yutopia tersebut. Namun sebenarnya dibalik semua itu, terselip sebuah gagasan mengenai nasib gelandangan, nasib mereka yang masih kesulitan dalam mengakses ruang hidup.
“Bahwasannya, pemerintah itu sebetulnya sanggup memberikan pemerataan hunian kepada orang-orang yang mungkin enggak punya akses terhadap hunian.”
Belum sempat saya memberikan tanggapan, beliau langsung melanjutkan pembicarannya.
“Bahkan masalah akses hunian, juga dialami oleh orang-orang asli Jogja, yang mana mereka masih menanggung hidupnya di sebuah kontrakan. Dan ngontrak ini sudah jadi bagian dari budaya, bahkan kebudayaan ini diwariskan kepada anak keturunanya. Karena memang sudah sangat tidak masuk akal kenaikan harga tanah saat ini.”
Jawaban beliau cukup mengesankan, beliau banyak memberikan wawasan terkait masalah yang belum pernah saya anggap sebagai masalah.
Yang membuat saya terpukau dengan mbak Erlina adalah, kemampuan beliau dalam menyampaikan masalah, sekaligus menyampaikan gagasannya ke dalam satu pertunjukan secara utuh.
Semua yang beliau sajikan memberikan saya kesadaran, bahwasannya karya seni juga berperan dalam mendekontruksi pandangan yang telah mapan di masyarakat kita, salah satunnya adalah bagaimana selama ini mereka sebagai kaum milenial selalu dikaitkan dengan kesuksesan, namun justru masalah yang dihadapi jauh dari kemapanan tersebut.
Demikian resensi singkat dari saya mengenai Puri Yutopia Permai, ada baiknya jika seusai menonton untuk menekan satu bentuk jempol tangan. Atau jika berkenan, bisa langsung menekan kotak berlangganan sekaligus loncengnya, untuk mendukung budaya dan kesenian kita supaya lebih baik.
0 Komentar