Saban subuh memanggil, kemajemukan kota terlelap di saku selimut mereka. Sedang aku menyiasatinya dengan mengaji, memuja seru asmamu dengan bertasbih.
Ketika rutinitas memakan separuh penuh ketukan arloji, imanku tergoyah oleh wanita di simpang jalan. Memaksaku berfantantasi dalam sebuah pergumulan seru di ranjang.
Waduh gusti apa yang musti kulakukan? Kian lama aku menimbun durja. Hidup di tanah perantauan menjauhkanku dari iman.
Hiruk-pikuk kemaksiatan membuatku sadar, bahwa setiap kali mengumpat sudah jadi beban hidup di liang lahat.
Sedang kawan-kawanku hebat menyiasatinya.
Menawariku setuang angur merah, bersama rakusnya kepulan tembakau.
Sedang saku bulananku membabi buta, membabat habis diakhir masa tunjangan.
Duh Gusti! Aku berjanji, memegang penuh asmamu dari jemunya rutinitas.
Sumpah Gusti! Celaka sudah hidupku.
Kian lama hidup menanggung durja, dari segala bentuk dosa di tanah perantauan.
Aku bentangkan sajadah di ujung taubatku, kusesali segala dosa dan nafsu.
Dari segala kawan dan wanita yang mengodaku.
Ya Gusti! Saksikan utuh sumpahku.
Sembahyang tepat laku tak kurang lima waktu.
Sesuai anjuran agama dan syariatmu.
0 Komentar