Membaca menjadi suatu keterampilan dalam aspek kehidupan, buku sebagai komponen akan kebutuhan bagi manusia sebagai gerbang dalam memasuki wawasan dunia yang memberikan sumbangsih untuk membangun suatu peradaban. Membaca buku bukan hanya suatu kegiatan yang dilakukan untuk menambah wawasan. Buku membawa kebijaksanaan orang-orang terpintar yang pernah ada. Melalui membaca, kita menemukan diri di jalan yang pasti untuk menjadi Bahagia, sehat dan bijaksana.
“Membeli buku akan menjadi hal yang baik jika seseorang juga dapat membeli waktu untuk membacanya: tetapi orang biasanya mengacaukan pembelian buku dengan perolehan isinya.” -Arthur Schopenhauer
Arthur Schopenhauer merupakan filsuf yang dikenal luas sebagai filsuf pesimisme. Ia menghantarkan kepada cara membaca buku sebagai suatu keterampilan yang perlu dipelajari oleh manusia. Pesimisme Schopenhauer memiliki bangunan filsafatnya yang membedakan dengan filsuf lain, metafisika penderitaan yang ia dirikan untuk menjelaskan kemurungan itu. Walaupun ia bukan sebagai filsuf pesimisme pertama dan terakhir namun ia layak menjadi filsuf pesimisme sejati. Dibalik kepesimisannya tersebut ia tidak menyangkal suatu rasa syukur serta perasaan kasih. Kita mengalami suatu dunia yang terpisah pisah, Schopenhauer meyakini dengan yang sedikit banyaknya terpengaruh dari filsafat timur bahwa persepsi itu ilusi. Dunia itu satu. Saat kita menolong orang lain, kita menolong diri sendiri. Tulisannya banyak mengangkat akan estetika, moralitas, dan psikologi. Ia mempengaruhi banyak pemikir lainnya. Tak heran, ia dipandang sebagai filsuf yang memberikan pengaruh besar.
Begitupun dengan membaca menjadi suatu meditasi untuk menolong diri dari kebodohan. Dalam esainya yang berjudul On Books and Reading (1851) ia menjelaskan bagaimana seseorang dapat membaca buku agar membaca buku itu tak sekedar membaca namun bagaimana membaca buku sebagai bentuk keterampilan atau seni yang melekat pada aspek kehidupan. Adapun tips yang ia berikan:
• Jangan membaca terlalu banyak
Schopenhauer menegaskan bagi para pembaca jangan terlalu obsesi membaca banyak buku karena justru hal tersebut akan berbahaya. Dalam esainya tersebut ia menulis “Dan begitulah yang terjadi bahwa orang yang banyak membaca — artinya, hampir sepanjang hari, dan menciptakan kembali dirinya sendiri dengan menghabiskan interval dalam pengalihan tanpa berpikir, secara bertahap kehilangan kemampuan untuk berpikir untuk dirinya sendiri; seperti halnya seorang pria yang selalu berkuda pada akhirnya lupa bagaimana caranya berjalan.” Dasar tersebut mungkin menjadi awal frasa yang sering kita dengar di abad-21 ini “banyak baca banyak lupa” otak juga tidak bisa mengingat secara penuh apa yang kita baca karena kemampuan otak membatasi hal tersebut. Adapun menurut Schopenhauer jikalau seseorang terlalu banyak mengkonsumsi bacaan dengan membaca buku terus menerus ia akan akan menghabiskan waktunya untuk menjadi lupa serta malas dalam berpikir.
• Jangan membaca tanpa perenungan
Menurut Schopenhauer janganlah membaca tanpa ada perenungan. Dalam esainya ia menulis
“…hanya refleksi bahwa seseorang dapat mengasimilasi apa yang telah dibacanya; jika seseorang membaca lurus ke depan tanpa merenungkannya nanti, apa yang telah dibaca tidak berakar, tetapi sebagian besar hilang" dalam membaca memerlukan dan sangat dibutuhkan refleksi serta perenungan. Melalui itu, membaca dapat mengasimilasi apa yang telah ia baca dalam artian Ketika membaca perlunya merefleksikan dan pengaplikasian yang sekiranya bijaksana untuk dilakukan. Jika membaca tanpa ada perenungan sama sekali, apa yang dibaca Sebagian besar akan hilang dan tidak mengakar.
• Perlunya membaca karya-karya Klasik
Menurut Schopenhauer, ia menyarankan bagi seseorang agar membaca buku-buku klasik. Ia beranggapan, tidak ada yang lebih menyenangkan dari membaca karya-karya dari para penulis terdahulu. Seperti halnya Schopenhauer yang begitu terpengaruh pada pemikir pemikir lama seperti Imannuel Kant dan filosofi timur seperti ajaran-ajaran Budhisme. Ia juga berpendapat bahwa tidak ada relaksasi yang lebih besar bagi pikiran dari pada membaca karya klasik kuno.
• Membaca Teks Orisinil
Sang filsuf menyarankan, agar kita juga perlu membaca pemikiran penulis melalui karya orisinil yang otentik mereka tulis. Dalam esainya Schopenhauer mengatakan “Kadang-kadang buku ditulis tentang ini, kadang-kadang tentang pemikir hebat di masa lalu, dan buku-buku ini dibaca oleh publik, tetapi bukan karya orang itu sendiri.”
• Jangan Membaca buku yang buruk
Dalam “The Art of Not Reading” karya lain dari Schopenhouer, ia menjelaskan membaca buku sebagai sebuah komitmen. Jika membaca buku yang buruk akan membuang waktu dan hal tersebut kontraproduktif. Buku buruk bagaikan racun, ia merusak pikiran. Dalam membaca buku yang baik adalah tidak membaca yang buruk; karena hidup ini singkat dan waktu serta tenaga terbatas.
• Membaca kembali buku yang bagus
Repetitio est mater studiorum (Pengulangan adalah inti dari sebuah pelajaran) Adapun dalam saran Schopenhauer yang diajukannya bahwa kita perlu mengulang buku yang bagus untuk dibaca. Ia berkata “…dalam membaca buku yang bagus untuk kedua kalinya, Sebagian dapat memahami materi secara keseluruhan, Adapun membaca lagi dapat memahami akan urutannya ketika mengetahui awalnya barulah kita benar-benar memahami akhirnya. kita mendekati setiap bagian dalam buku dalam suasana hati dan kerangka berpikir yang berbeda dari yang kita miliki pada bacaan pertama, sehingga yang satu mendapat kesan lain; dan seolah-olah kita sedang melihat suatu objek dalam cahaya yang berbeda”
Itulah saran yang dianjurkan oleh Arthur Schopenhauer sang filsuf pesimis, dalam esainya bertajuk “On Books and Reading”. Selanjutnya, ketika kita mencoba menerapkan itu juga bertujuan agar kita membaca tak hanya sekedar membaca saja, melainkan mampu membangun suatu system pemikiran. Dalam memaksimalkan membaca buku, kita perlu berpikir sendiri seperti yang disampaikan Schopenhauer dengan merefleksikan apa yang kita baca agar tidak tidak hilang serta butuh pengaplikasian. “setiap orang memiliki tujuan, tetapi sangat sedikit yang mengalami sesuatu yang mendekati sistem pemikiran. inilah sebabnya mengapa orang-orang seperti itu tidak tertarik secara objektif pada apapun, dan mengapa mereka tidak belajar apapun dari apa yang mereka baca: mereka tidak mengingat apa pun tentangnya.” Inilah bentuk upaya membaca aktif yang Schopenhauer terapkan sebagai cara agar memperoleh dan mempertahankan pengetahuan. Pengetahuan bukanlah kekuatan jika tidak diterapkan.
Kita memiliki tujuan hidup di dunia ini, sebagai manusia kita mungkin layaknya seperti pemulung yang memungut kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para pemikir terdahulu, hingga membaca sebagai bentuk transfer pemikiran dan mengetahui seluk beluk masalah yang dihadapi pada masanya. Apa yang relean mungkin dapat kita terapkan. Memang adakalanya kita membutuhkan pengetahuan yang sifatnya kontemporer agar kita tidak menjadi manusia yang terus menerus terjebak pada pemikiran masa lalu, agar seimbang kita juga membutuhkan suatu pengetahuan yang telah dimurnikan oleh waktu atau karya klasik yang kuno untuk mendapatkan kebijaksanaan disana. Nicollo Machiaveli dalam The Prince pernah berkata “Orang bijak harus selalu mengikuti jalan yang dilalui oleh orang-orang hebat, dan meniru mereka yang telah menjadi yang tertinggi, sehingga jika kemampuannya tidak menyamai mereka, setidaknya itu akan memberikan suatu kenikmatan untuknya." Begitupun René Descartes dalam Discourse on Method and Meditations on First Philosophy, ketika kita membaca buku-buku yang bagus, kita sedang terlibat dalam perbincangan dengan para pemikir yang hebat.
Bagaimanapun setiap orang memiliki cara dan upaya untuk memperoleh ilmu pengetahuan, di zaman globalisasi ini memberikan akses yang memudahkan manusia untuk berkembang dalam mencari pengetahuan. Inovasi teknologi membuat budaya baru dalam membaca buku. Saat ini, buku dapat di akses di gawai atau bisa disebut sebagai E-book. Selanjutnya, bagaimana kita sebagai manusia dapat menerapkan dan membuat pikiran kita terbuka terhadap sesuatu yang baru seperti kata Maxim Gorky seorang penulis Russia “Teruslah membaca buku tetapi ingatlah bahwa buku hanyalah sebuah buku, dan Anda harus belajar berpikir untuk diri sendiri.”
Referensi
Schopenhauer, Arthur. 1851. “On Reading and Books.” In Schopenhauer: Parerga and Paralipomena Short Philosophical Essays, edited by Christopher Janaway, 496–505. Cambridge: Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781139016889.030.
Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius
0 Komentar