Syamsul Arifin
Stoicism merupakan filsafat Helenistik yang didirikan di Athena oleh Zeno pada 300 SM. Nama Stoicism ini berasal dari Stoa Poikile yang berarti teras yang dicat. Salah seorang kaisar bernama Marcus Aurelius menganut aliran ini dan memperkenalkannya kepada khalayak, demi tercapainya tujuan yang menjadi landasan Stoicism, yaitu mundur dari kekacauan emosional dan fisik untuk dapat mencapai keadaan pikiran yang sangat tenang dan jernih. Marcus Aurelius merupakan pria yang terkenal lemah dan dapat dikatakan memiliki sejumlah masalah kesehatan, tetapi ia berhasil hidup lebih lama dari sekelompok orang di sekitarnya dalam waktu yang terbilang cukup sulit. Marcus dapat bertahan hidup walaupun dalam kondisi yang sulit salah satu yang dapat menopang pertahanan hidupnya adalah strategi psikologis yang dia kembangkan dalam mengatasi emosi dan rasa sakitnya serta penyakit fisik yang harus dia tanggung.
Kaum Stoa mengajarkan bahwa satu-satunya hal yang berada di bawah kendali kita adalah diri kita sendiri; tindakan kita sendiri. Banyak sesuatu yang menimpa atau terjadi kepada kita di luar kendali, dan yang benar-benar dapat kita kendalikan adalah cara kita sendiri dalam menanggapi hal tersebut. Stoicism menginginkan kita untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk sesuatu yang sebenarnya dapat kita lakukan, baik itu dalam pikiran, maupun tindakan kita dalam menanggapi situasi yang kita hadapi.
If we want to suffer less, we need to learn to embrace our pain and live with it without struggling against it as much -Donald Robertson
Pada kutipan tersebut, Robertson sebagai penulis buku “How to Think like a Roman Emperor; the Stoic Philosophy of Marcus Aurelius” menegaskan bahwa terdapat sejumlah penelitian yang berkembang yang menunjukkan bahwa penerimaan emosional menjadi strategi yang kuat dalam terapi kognitif untuk mengatasi perasaan-perasaan yang mengganggu sebagai cara untuk mengatasi rasa sakit.
Seperti kebanyakan kaum Stoa pada umumnya, Marcus Aurelius sangat berhati-hati tentang bahaya yang tersirat dalam perasaan positif atau perasaan-perasaan bahagia, jika kita terlalu terbawa suasana dalam menikmati hal-hal tertentu, terkadang kita dapat membuat keputusan yang buruk, jadi dengan kata lain, kita perlu mempertahankan indra kita agar tidak kehilangan kendali atas hal-hal yang sedang terjadi, sebab terkadang kita dapat bertindak hal-hal yang tidak rasional saat sedang merasakan kebahagiaan.
Saat ini kita ada pada era teknologi yang dapat memanipulasi emosi serta pikiran kita. Stoic berperan sebagai cara untuk mereduksi hal-hal semacam itu. Manusia stoic diharapkan dapat membuat kendali atas sesuatu yang bersifat emosional, sehingga dapat menekan dan mengontrol apa saja yang dapat merugikan kita. Seperti yang diketahui, bahwa filsafat stoicism merupakan filsafat praktis, karena pada dasarnya kaum Stoa memegang prinsip ini sebagai panduan untuk kehidupan sehari-hari. Epictetus dalam hal ini mengatakan bahwa ia mengetahui bagaimana cara menganalisis argumen (filsafat teoritis), dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan seseorang untuk mengevaluasi ahli logika, tetapi dalam menjalani kehidupan, dia tidak tahu bagaimana cara menjalani kehidupan. Kalimat tersebut merupakan bentuk protes atas orang-orang teoritis dalam kefilsafatan, namun lupa ada kehidupan yang juga harus dipelajari dan dijalankan dengan baik. Marcus Aurelius menggambarkan hal semacam itu dengan mengatakan bahwa “jangan lagi berbicara tentang jenis pria yang seharusnya menjadi pria baik, tetapi jadilah seperti itu.”
Untuk memahami bagaimana kaum Stoa bertindak berdasarkan filsafat Stoicism, perhatikan gambar berikut:
Pada gambar tersebut terdapat penjelasan yang salah satunya dapat diartikan bahwa dibandingkan dengan memilih ketakutan terhadap sesuatu yang bersifat irasional atas ekspektasi terhadap hal-hal buruk yang akan terjadi, kita lebih baik memilih caution sebagai tindakan untuk lebih hati-hati (keengganan rasional dari kejahatan dan hal-hal yang benar-benar berbahaya).
Pandangan Stoic mengenai emosi sebenarnya telah dijelaskan juga oleh ilmu saraf modern. Rasa takut, misalnya, adalah hasil dari mekanisme pertahanan dan reaksi yang tidak disengaja dan tidak disadari, dan korelasi saraf utamanya adalah amigdala. Para psikolog dalam hal ini menjelaskan bahwa rasa takut merupakan emosi yang lebih kompleks yang dibangun sebagai bagian dari mekanisme pertahanan dan juga merupakan reaksi dasar; pikiran sadar menambahkan interpretasi kognitif.
Singkatnya, filsafat Stoa mengajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan seseorang bersumber dari hal-hal yang dapat kita kendalikan.
Stephens, W. O. (2020). How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic Philosophy of Marcus Aurelius, by Donald Robertson. Ancient Philosophy, 40(2), 516-519.
https://iep.utm.edu/stoicism/#H6, diakses pada 15 Maret 2022.
https://knowledge.wharton.upenn.edu/article/how-marcus-aurelius-stoicism-can-help-on-the-job/, diakses pada 15 Maret 2022.
1 Komentar
👍
BalasHapus