●●●
Perubahan yang dialami dalam hidup tidak lepas dari kondisi modernitas yang sedang berjalan. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta adanya gesekan dengan dunia memberikan kontribusi dalam memunculkan berbagai macam perilaku. Berdasarkan data dari WHO tahun 2014 terdapat 2 orang yang bunuh diri setiap 100.000 jiwa dan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh depresi, kesepian, dan masalah sosial ekonomi. Sedangkan, data dari Kemenkes tahun 2011 sebanyak 17,4 juta dari 150 juta orang dewasa di Indonesia mengalami gangguan mental, salah satunya gangguan post traumtaic stress disorder (PTSD). Seseorang yang pernah mengalami peristiwa hebat yang mengancam kehidupan serta menimbulkan stressor berat yang berdampak pada masalah psikologis, sehingga menimbulkan kecemasan atau ketakutan disebut dengan stress pasca trauma. Hasil laporan WHO tahun 2005 jumlah penduduk dunia yang menderita PTSD sebanyak 3.230.000 orang atau setara dengan 0.2%.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 terdapat 140/1000 penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan jiwa dan 23% diantaranya mengalami PTSD. Pasien dengan PTSD memiliki risiko tinggi untuk bunuh diri. Sebuah studi menunjukkan bahwa 56,4% penderita PTSD melaporkan berbagai aspek bunuh diri, baik keinginan maupun perilaku bunuh diri. PTSD juga dilaporkan sebagai prediktor independen atas percobaan bunuh diri dengan peningkatan risiko hampir 3x lipat.
Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan psikologis yang terjadi pada seseorang yang pernah mengalami peristiwa yang sangat mengancam. Dan, jika tidak diobati, maka dapat menyebabkan penurunan dalam hal kualitas hidup dan kemampuan fungsional, gangguan emosional, kecenderungan patologi lain, dan kemungkinan yang lebih besar dari upaya bunuh diri (Davidson, 2009). PTSD dapat semakin berkembang setelah seseorang mengalami kejadian-kejadian traumatis, seperti kekerasan dan pelecehan seksual, peperangan, kecelakaan lalu lintas, kematian, dan kejadian buruk yang mengancam nyawa. PTSD semakin dikenal sebagai gangguan kesehatan mental karena adanya beban sosial yang sangat besar. Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda terhadap peristiwa traumatis yang dialaminya. Peristiwa traumatis sering disertai dengan mimpi buruk dan gejala, seperti mudah marah, gangguan tidur, dan kecemasan.
Beberapa gejala traumatis yang umum meliputi, perasaan cemas, ketakutan di teror, rasa kesal, mati rasa secara emosional, dan mengisolasikan diri. Namun, tidak semua peristiwa traumatis atau individu yang memiliki trauma akan mengalami PTSD, baik dalam jangka panjang (kronis) maupun jangka pendek (akut), dan tidak semua penderita PTSD pernah mengalami peristiwa yang menghancurkan. Menurut DSM-V diagnosis PTSD harus dilakukan setidaknya 1 bulan setelah peristiwa terjadi. Dan, dalam artikel ini, jangka waktu dari peristiwa terjadi hampir 1 bulan, sehingga dapat diasumsikan kemungkinan mengalami gejala PTSD yang memerlukan pertolongan para ahli, karena jika gejala PTSD tidak segera ditangani, maka akan menyebabkan masalah psikologis yang lebih parah.
Beberapa bukti empiris telah menunjukkan bahwa kesehatan mental meningkat jika kita dapat mengintegrasikan spiritualitas dan agama ke dalam praktik psikoterapi. Sehingga, dampaknya mampu mendorong pasien untuk mencari dukungan dari komunitas-komunitas agama, dan dapat memperkuat proses pemulihan dan reintegrasi pasien. Menurut Wainrib (2006) mengatakan bahwa penyembuhan trauma didasarkan pada paradigma spiritual dan mendorong kapasitas klien untuk terus tumbuh dan berkembang daripada menyerah dan putus asa. Oleh karena itu, sebagai solusi dalam menangani gangguan stress pasca trauma, maka artikel ini akan menjelaskan tentang pengaruh psikoterapi dalam islam, yaitu terapi taubat dalam mencegah berkembangnya gangguan post traumatic stress disorder (PTSD)
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Menurut Kartono dan Gulo mengartikan trauma sebagai luka berat, seperti pengalaman yang menyebabkan organisme menderita kerusakan fisik dan psikologis. Sedangkan, menurut Kaplan dan Sadlock mengatakan bahwa post-traumatic stress disorder sebagai bentuk stress emosional yang besar dan dapat terjadi pada hampir setiap individu yang mengalami peristiwa traumatik. National Institute Mental Health mengatakan post traumatic stress disorder sebagai gangguan kecemasan yang terjadi setelah individu mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan, mengancam, atau siksaan. Individu yang memiliki kecenderungan stress pasca trauma adalah individu yang memiliki sebuah pengalaman terhadap peristiwa atau kejadian traumatik, sehingga pengalaman traumatik tersebut menimbulkan stress dalam dirinya. Stress yang berkelanjutan inilah yang disebut dengan post traumatic stress disorder. Post traumatic stress disorder adalah salah satu gangguan emosional yang sifatnya menetap, terjadi setelah menghadapi ancaman atau peristiwa buruk yang membuat individu ketakutan dan tidak berdaya, sehingga menyebabkan korban menjadi trauma, menghindari stimulus yang berkaitan dengan peristiwa tersebut, berkembangnya sikap mati rasa terhadap responsivitas, dan memiliki tingkat kewaspadaan yang meningkat.
PTSD terbagi dua, yaitu akut dan kronis. PTSD akut dapat didiagnosis dalam waktu 1-3 bulan setelah kejadian, sedangkan PTSD kronis terjadi lebih dari 3 bulan. Gejala utama PTSD yaitu dengan mengalami kembali peristiwa traumatik dalam bentuk mimpi atau bayangan. Hal ini disebabkan karena adanya stimulus yang berkaitan dengan pengalaman traumatis tersebut. Gejala lainnya, seperti anxiety berlebihan, iritabilitas, insomnia, dan penurunan konsentrasi. Menurut DSM-V terdapat tiga kelompok symptom dari PTSD, yaitu:
a) Instrusive Re-Experiencing, yakni selalu kembalinya peristiwa traumatik dalam ingatan.
b) Avoidance, yakni selalu menghindari sesuatu yang berhubungan dengan trauma.
c) Arousal, yakni kesadaran secara berlebihan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi PTSD terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor dari dalam diri individu yang pengaruhnya berkaitan dengan stress pasca trauma, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor dari luar individu yang berperan terhadap kemungkinan individu mengalami stress pasca trauma.
Hal-hal yang dapat dilakukan ketika seseorang menunjukkan gejala-gejala PTSD, yaitu dengan memberikan penanganan pertama psikologis untuk mencegah penurunan kejadian PTSD atau secara farmakoterapi dengan pemberian obat-obatan dalam meminimalisir gejala-gejala PTSD, seperti obat-obatan golongan benzodiazepin (chlordiazepoxide, diazepam, dan lorazepam), golongan non-benzodiazepin (buspirone, sulpiride, dan hydroxyzine), golongan anti-depresan (trisiklik, amitriptyline, dan imipramine), golongan monoamin oksidase inhibitor (moclobemide), dan golongan selective serotonin reuptake inhibitor (sertraline, parxetine, fluvoxamine, dan fluoxetine).
Selain dengan metode pemberian obat-obatan dan terapi psikologis, salah satu terapi dalam psikoterapi islam yaitu, terapi taubat diyakini memiliki pengaruh efektivitas yang cukup besar dalam mencegah berkembangnya gangguan post traumatic stress disorder. Psikoerapai islam merupakan proses pengobatan dan penyembuhan penyakit, baik mental, moral, spiritual, dan fisik melalui bimbingan al-Quran dan Sunah Nabi Muhammdas saw, atau secara empirik dengan bimbingan dan ajaran-ajaran Allah SWT.
Terapi Taubat
Taubat adalah kunci dari terapi dan obat dari segala macam penyakit hati. Kata taubat berasal dari bahasa arab yang berarti menyesal atas perbuatan dosa. Menurut Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi mengatakan makna taubat dalam bahasa ialah kembali. Maksudnya ialah kembali mengikuti jalan yang benar. Taubat dalam Islam berhubungan dengan penataan kembali kehidupan yang telah berantakan dengan perbaikan mental yang telah rusak. Anjuran dan perintah taubat banyak dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadist, bahkan dalam ilmu syariah, tasawuf, dan akhlak. Taubat diartikan sebagai permintaan pengampunan kepada Allah SWT atas segala perbuatan dan tingkahlaku, serta dosa dan kesalahan yang telah diperbuat. Taubat juga diartikan sebagai pengakuan, penyesalan, dan meninggalkan dosa dengan berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Taubat merupakan hak setiap manusia, baik yang melakukan dosa maupun tidak berdosa, karena dengan bertaubat dapat menyelamatkan manusia dari kehancuran dan memperoleh pengampunan dari Allah SWT. Taubat juga menjadi pertanda dengan adanya kemudahan dan kelapangan dalam beragama, serta mampu memperbaiki tatanan diri manusia dan masyarakat. Dengan bertaubat, maka setiap diri individu akan menyadari kesalahan-kesalahannya dan berusaha untuk memperbaiki dirinya agar menjadi lebih baik lagi.
Menurut al-Ghozali sendiri taubat memiliki tiga makan yang terususn, yaitu ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan). Ilmu merupakan pengetahuan tentang mudarat dan bahaya-bahaya dari dosa dan maksiat. Al-Ghazali mengatakan bahwa setiap munculnya cahaya iman yang menyinari hati petaubat, maka api penyesalan akan bergelora, dan setiap kali ia melihat pengaruh dari lentera iman tentang betapa jauhnya ia dari sang maha cinta, serta menyadari dan merasakan sakit atas penderitaan, maka sesungguhnya bertaubat merupakan suatu jalan pemula yang ditempuh oleh seseorang untuk menuju Tuhannya. Sedangkan, menurut psikologi modern, taubat terbagi atas tiga tahap, yaitu tahap mengakui, menyadari dan mengganti. Jenis-jenis taubat terdiri dari:
a) Taubat Nasuha, yaitu taubat yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada orang-orang mukmin untuk kembali ke jalan yang benar, menyesali segala kesalahan yang dilakukan, dan tidak akan mengulanginya kembali, serta konsisten dalam menjalankan taubatnya.
b) Taubat Terpaksa, yaitu dimana hati masih tetap atau memiliki keinginan untuk melanggar dan berbuat dosa.
c) Taubat Orang Awam, yaitu taubat yang dilakukan oleh orang awam karena lalai dari mengingat Tuhan.
d) Taubat Orang Khawas, yaitu proses peralihan dengan mematikan cara hidup lama yang ghaflah dengan memulai dan membina cara hidup yang baru, yaitu selalu ingat dan ingin dekat dengan Allah SWT dalam segala situasi.
Syarat-syarat untuk seseorang dapat melakukan taubat, meliputi rasa penyesalan, tekad untuk tidak mengulanginya lagi, siap menerima konsekuensi, membayar kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan, dan membersihkan tubuh yang hidup dari barang-barang haram dengan penuh rasa sedih dan penyesalan. Pelaksanaan taubat menurut Ali bin Abi Thalib terdiri dari enam sikap, yaitu pertama menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Kedua, bercita-cita untuk tidak mengulanginya kembali. Ketiga, mengembalikan seluruh hak-hak yang dimiliki. Keempat, kembali menutupi setiap fardhu yang ditinggalkan. Kelima, mengarah pada perhatian atas diri sendiri. Dan, keenam, memberisihkan diri dari semua penyesalan.
Terapi taubat berdasarkan prinsip-prinsip Islam juga telah dikembangkan. Dan, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jenis terapi ini efektif dalam meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan subjektif. Hal ini terbukti dengan perubahan yang ada, seperti penurunan kecemasan, kemarahan, dan gejala gangguan obsesif kompulsif, sehingga hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi ini memang memiliki efek positif terhadap regulasi emosi, berpikir positif, kebahagiaan, dan keimanan kepada Tuhan. Kebersihan jiwa yang dihasilkan dari terapi taubat menghasilkan sesuatu yang positif. Menurut Adz-Dzakiey (2007) dan Al-Quran & Hadits, indikator dari kesehatan mental ditandai dengan adanya hubungan baik dengan Allah SWT, dengan diri sendiri dan orang lain, karena jika hubungan tersebut tidak berjalan dengan baik, maka akan terjadi ketidakseimbangan yang akhirnya menimbulkan dosa.
Pengaruh Terapi Taubat Terhadap Gangguan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Berdasarkan perspektif Islam, berkembangnya gejala PTSD disebabkan karena kurangnya keyakinan pada kehendak-kehendaka Allah SWT, karena tanpa keyakinan, maka seseorang akan menolak dan sulit menerima situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Kurangnya keyakinan dan iman disebabkan karena kesalahan atau dosa yang dilakukan. Penolakan terhadap kehendak Allah SWT akan menyebabkan munculnya rasa cemas dan perasaan bersalah. Dan, dalam situasi seperti ini, maka seharusnya individu dapat memperkuat keyakinan dan menambah keimanan mereka bahwa setiap peristiwa yang terjadi sudah atas kehendak Allah SWT. Hal ini penting, karena individu harus memahami pentingnya memohon ampun kepada Allah SWT dengan cara bertaubat agar dapat melepaskan perasaan bersalah patologis mereka. Dengan bertaubat dan mencari pengampunan Allah SWT akan membawa mereka untuk bersyukur atas keadaan apapun, dan pikiran pun menjadi tenang, serta adanya kemungkinan untuk pulih dari peristiwa traumatis.
Gejala-gejala traumatis yang muncul, seperti perasaan bersalah, mimpi buruk, menghindari kilas balik, dll, dalam islam diyakini karena kurangnya keyakinan atas ketentuan Allah, sehingga memicu berkembangnya gangguan psikologis. Terapi taubat merupakan sarana dalam mengingat Allah, dan terapi ini mendorong indvidu untuk mengatasi cobaan-cobaan dan kesulitan dalam hidup, serta menambah rasa keyakinan individu untuk percaya kepada Allah SWT. Pada tahap awal dalam terapi taubat mungkin individu yang melakukannya akan kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya, tetapi setelah beberapa hari konsisten melakukan terapi taubat secara bertahap, maka dapat dipastikan individu telah mampu mengungkapkan perasaan dan pikiran-pikiran negatif dalam dirinya, sehingga tekanan yang ada sebelumnya perlahan-lahan menjadi berkurang. Dan, pada tahap berikutnya rasa kecemasan yang dirasakan kemungkinan juga akan berkurang. Kemudian, perlahan-lahan dapat menemukan makna dari peristiwa buruk dan menyedihkan yang pernah dialami agar perasaan bersalah dapat berkurang. Hal ini dilakukan berbarengan dengan berdoa, karena dengan berdoa kita dapat meringankan perasaan tidak enak yang ada dalam diri kita dan yang datang dari peristiwa-peristiwa traumatis.
Keberhasilan dan keefektivan terapi taubat juga telah ditegaskan dalam beberapa penelitian, salah satunya penelitian dari Uyun & Kurniawan (2018) tentang efektivitas terapi taubat dan istighfar dalam mencegah gangguan post traumatic stress disorder. Hasil lain juga ditemukan dalam penelitian Magezi dan Manda (2016) yang mengatakan bahwa spiritualis dapat bertindak sebagai sumber coping untuk orang-orang yang berada dalam situasi dan kondisi traumatis. Hal ini juga sesuai dengan ayat dari Al-Quran yang menyatakan bahwa Allah SWT menjanjikan “kekuatan”, “rezeki yang baik”, dan”kebaikan” bagi mereka yang mencari dan melakukan pertaubatan.
Kesimpulan
Post traumatic stress disorder (PTSD) merupakan gangguan psikologis yang terjadi pada seseorang yang pernah mengalami peristiwa yang sangat mengancam. dapat semakin berkembang setelah seseorang mengalami kejadian-kejadian traumatis. Beberapa gejala traumatis yang umum meliputi, perasaan cemas, ketakutan di teror, rasa kesal, mati rasa secara emosional, dan mengisolasikan diri. PTSD terbagi dua, yaitu akut dan kronis. PTSD akut dapat didiagnosis dalam waktu 1-3 bulan setelah kejadian, sedangkan PTSD kronis terjadi lebih dari 3 bulan. Terapi taubat dapat dikatakan berhasil dan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam meringankan dan mencegah gejala-gejala trauma dan gangguan stress pasca trauma menjadi semakin berkembang. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa jika seseorang melakukan terapi taubat dengan sungguh-sungguh, berusaha meningkatkan keyakinan dan keimanan kepada Allah dan kehendeknya, maka keberhasilan dalam terapi tersebut semakin besar
DAFTAR PUSTAKA
Epidemiologi post traumatic stress disorder (PTSD)—Alomedika. (n.d.). Retrieved December 24, 2021, from https://www.alomedika.com/penyakit/psikiatri/post-traumatic-stress-disorder-ptsd/epidemiologi
Post-traumatic stress disorder (PTSD). (2017, October 13). HMKU. http://hmku.fkunud.com/ptsd/
Shohib, M. (2015). Taubat sebagai metode dasar psikoterapi. 6.
Uyun, Q., Jaufalaily, N., Witruk, E., & Kurniawan, I. N. (2020). Effect of Islamic-based repentance therapy on the prevention of post-traumatic stress disorder (PTSD). Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, 5(2), 125–138. https://doi.org/10.21580/pjpp.v5i2.6505
Zaini, A. (2015). Shalat sebagai terapi bagi pengidap gangguan kecemasan dalam perspektif psikoterapi islam. 6(2), 16.
0 Komentar