Retying Gordian Knot: Mengikat Kembali Simpul Gordian

Fahmi Ilman Ambiya


Turn him to any cause of policy,
The Gordian Knot of it he will unloose,
Familiar as his garter
—Shakespeare

 

 
By Jean-Simon Berthélemy

Karya Berthélemy mencitrakan sesi parsial dari kisah terkenal Gordius, seorang raja atau seorang petani; katakan apa pun, denotasi kardinal tidak memainkan peran yang vital. Kisahnya, memetis dari mulut ke mulut mulai dari dataran Frigia hingga pulau Kreta. Dahulu, menurut legenda orang-orang Yunani, Frigian (merujuk pada ansestral orang Frigia yang bermigrasi dari Eropa (Herodotus, VII.73)) tidak memiliki raja, demi menghindari terjadinya aneksasi oleh prefektur geografis yang relatif; para ekspatriat mengumpulkan sekian peramal (oracle) sehubungan dengan strategi penunjukkan raja, sayangnya tak satu pun memenuhi kriteria, peramal dari Telmissus dengan montase ramalan rahasia memutuskan bahwa orang yang datang menuju Frigia dengan mengendarai gerobak sapi, harus menjadi raja. Gordius, dari lanskap terlihat menunggangi gerobak sapi, keputusan yang absah terjalin tanpa hadirnya konfrontasi; Gordius adalah raja bagi Frigian. Midas putra dari Gordias mendedikasikan gerobak sapi ayahnya kepada Dewa Sabazios dengan menyimpulkan kulit Cornel ke tiang, tak seorang pun tahu bagaimana caranya Midas menyimpul kuk ke tiang, simpulnya begitu erat dan misterius.

Warta ihwal simpul Gordian menyebar ke penjuru peta, estapet dari zaman-ke-zaman, mata-ke-mata, namun tak seorang pun memiliki solusi untuk menguraikan topologi teka-teki simpul Gordian. Separo peramal Tillmissus secara evokatif mendeklarasikan nubuat terhadap simpul Gordian, siapa saja yang mampu mengurai simpul, ia adalah raja yang cakap memimpin lembah asia sepenuhnya. Orang-orang datang dan pergi dari kota selama berabad-abad dan tidak ada yang mampu melepaskan simpul itu. Hingga pada abad ke-4 SM saat musim dingin di Gordium, seorang pemuda mendekati gerobak sapi, tetapi tidak dapat menemukan ujung yang longgar untuk melepaskan ikatannya, artinya tidak ada solusi topologis yang cocok untuk teka-teka Gordian. Setelah mempertimbangkan dengan cermat, ia mengambil pedangnya dan sukses melepaskan simpul Gordian yang misterius dengan membelahnya menjadi dua. Pemuda itu kemudian dikenal sebagai Alexander Agung.

Simpul Gordian yang terkenal adalah metafora untuk merepresentasikan persoalan rumit yang tidak memiliki solusi intrinsik, itu secara kontinu akan disimbolkan sebagai konjektur. Namun, Latour (1993;11) membagul duduk perkara yang kontras, baginya simpul Gordian tidak perlu diuraikan! Dengan artikulasi yang berbeda, Latour membingkai perkara simpul Gordian yang terurai dan mendenotasikannya pada realitas epistemik ala modernis (Latour, 1993;12):

Our intellectual life is out of kilter. Epistemology, the social sciences, the sciences of texts all have their privileged vantage point, provided that they remain separate.

Sejak The Strucuture of Scientific Revolution (1962) oleh Thomas Kuhn, simpul Gordian tidak merujuk pada kuk gerobak sapi lagi, melainkan pada eksamplar struktur pengetahuan yang dianggap tak-terbandingkan (incommensurable). Bagi Kuhn pernyataan ihwal kebenaran epistemik dependen terhadap status asersi yang terberikan oleh skema (Scheffler, 1982;2), sehingga tak ada penyataan yang kabur ketika seorang mendeskripsikan bahwa “fisika Aristotelian tidak berbeda benarnya dengan fisika Newtonian mengingat keduanya terkonstituen dari paradigma yang berlainan” artinya, konten realitas terejawantahkan dengan skenario poliferasi, dengan data dan model yang tak-terbandingkan, kesemuanya menyajikan eksplanasi tentang sejarah dan detail dari realitas. Seorang boleh saja meragu, bertanya tentang apakah model pe-representasi realitas itu benar-benar membingkai realitas apa-adanya; jika asumsi keduanya benar, maka kita sedang bercerita tentang dongeng Gordian yang terkenal, tentang pendulum dua kepala, puisi tuan Sapardi, pengobatan kanker yang mutakhir; dalam dua ruang identitas yang berlainan, kita bersua di dalam dunia Aristoteles dan Newton, di puncak kanopi uniformitarian dan katastropi secara simultan dan sekaligus! Para generasi sebelum kita, memantau rime, menggantungkan kewajaran kepada kita, bahwa seorang harus menjadi ahli, sebagai filsuf, sastrawan atau musisi. Sisanya, barangkali lebih banyak dari setengah populasi dunia, disiapkan untuk mengemban veste yang dianggap lebih ulung oleh proksimasi “kontruksi sosial”; menjadi dokter atau politisi saja.  Latour melihat bahwa tendesi populasi memerankan profesi ahli adalah tanda dari terurainya simpul Gordian.

Profesi ahli yang memuat marjinalitas epistemik tidak mengandaikan hadirnya keterjalinan, kita bisa mengatakan itu, namun perlu untuk sedikit melakukan kecurangan terkaan; bahwa hampir semua politisi dewasa ini, cukup berani melakukan inisiasi pada progresivitas pembangunan kilang-kilang minyak raksasa (Sauer, 2017) dengan tidak mempertimbangkan pangaruh efek adisi, semacam perubahan iklim yang signifikan (Thompson, 2010;154). Presumsinya adalah karena mereka terlalu tua atau—dengan artikulasi yang lebih serius—mereka “merasa” bahwa penggeberan instrumen industri tidak memerlukan analisis resiko.  Selanjutnya, rubrik yang sama terjadi pada domain keahlian relatif, para saintis enggan membawa proyek politis pada meja ilmiahnya, bagi liyan strategi politis yang kotor bukan bagian dari kerja ilmiah. Ketika penelitian pertanian Trofim Lysenko menjadi pusat dari upaya yang politis untuk membentuk biologi Soviet yang berbeda dari sains Barat (Graham 2016). Lysenko dan lain-lain mengklaim bahwa pertumbuhan biji-bijian dan keturunan dapat secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan lingkungan seperti memperlakukan benih dengan dingin dan kelembaban, dan bahwa perubahan tersebut dapat menyebabkan peningkatan hasil panen dan reformulasi genetika tertulis dengan jumlah besar. Beberapa ilmuwan dan politisi Soviet pada periode itu memahami genetika Barat dikacaukan oleh gagasan kapitalis tentang rivalitas, nilai pewarisan bawaan, dan individualisme, sementara mereka melihat sains Barat secara lebih umum sebagai terlalu memprioritaskan sains teoretis murni yang terputus dari kebutuhan massa.  Tradisi ilmiah Barat dan Soviet kala itu mengindikasikan hadirnya interes dan kebijakan politis sehubungan dengan pengaplikasian resultan ilmiah, lantas mengapa memilih menolaknya. Sehubungan dengan terurainya simpul epistemik; Latour berbalik arah, justru menawarkan keterjalinan dari situasi kaos yang seolah-olah terlihat sedap jika terpisah; berupaya menyimpul kembali partisi simpul Gordian yang terurai. Sayangnya, sebagai tiers instruits Latour melihat keruwetan dalam membangun postulat yang kokoh.

Bagi Latour, lantun semiotis dari label modernitas merupakan rezim baru yang secara adjektif mendenotasikan akselerasi, patahan hingga revolusi; menelan mosaik masa lampau yang stabil dan simetri. Lalu, apa sebenarnya maksud dari menjadi modern? Ketika setiap pagi, kita menyantap rubrik dari berbagai penjuru, peperangan di Eropa Timur, orang Jepang berhasil menciptakan robot pelayan, konservasi satwa liar hingga perubahan iklim; kesemuanya nampak tak bermasalah. Begitu adanya, warta terpartisi begitu pula konstelasi epistemik. Latour (1993;18) membingkai modernitas dengan ilustrasi dikotomis berikut:


Ada partisi (great divide—menggunakan terma Latour) antara alam dan kultur, keduanya tak terjalin mengingat aktor tidak cakap dalam proyek meninjau dan menemukan jejaring quasi-objek. Latour menawarkan dua strategi supaya masyarakat kontemporer kembali menjalin simpul Gordian, yaitu; purifikasi dan translasi. Yang pertama merujuk pada kesadaran bahwa alam dan kultur berada pada set dan kelas yang sama, dilanjutkan oleh skema nomor dua, yaitu hibridasi jejaring yang membagul aktor pada pemahaman komperhensif ihwal posisi kritis modernitas. Selama tripartisi tersebut lumpuh secara epistemik maka kita tidak mungkin melepaskan diri dari jeruji modernisme. Aktor sebagai representator dari totalitas kenyataan adalah subjek yang bertanggungjawab atas postulasi ilmu pengetahuan, masa depan pengetahuan tidak patut diiris oleh tripartisi yang konyol.


REFERENSI


Latour, B. (1993). We Have Never Been Modern. Massachusetts: Harvard University Press.

Sauer, S. (2017, July 14). Why aren’t politicians doing more on climate change? Maybe because they’re so old. From Vox: https://www.vox.com/first-person/2017/7/14/15959968/climate-change-teenager

Scheffler, I. (1982). Science and Subjectivity. Indianapolis: Hackett.

Thompson, L. G. (2010). Climate Change: The Evidence and Our Options. The Behavior Analyst, 153-170.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press: Chicago.



Posting Komentar

0 Komentar